detakhukum.id, Jakarta – UU Cipta Kerja kini memiliki aturan turunan baru antara lain soal pengupahan. Namun, ada yang menjadi sorotan, salah satunya soal perhitungan upah minimum Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang diteken Jokowi.
Dalam aturan yang baru diteken Presiden Joko Widodo pada 2 Februari 2021 itu, upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, bukan lagi berdasarkan kebutuhan hidup layak.
Peraturan baru ini merupakan aturan turunan dari Undang-undang Nomor 11 Cipta Kerja yang sebelumnya telah disahkan pada 2 November 2020.
Daftar isi
Aturan soal upah per jam.
PP yang menjadi salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja ini sekaligus mencabut aturan sebelumnya, yakni PP nomor 78 tahun 2015. Salah satu poin teranyar dalam PP ini mengenai upah berdasarkan satuan waktu, yakni upah per jam.
Pada pasal 16, penetapan upah per jam hanya diperuntukkan bagi pekerja/buruh yang bekerja secara paruh waktu.
“Upah per jam dibayarkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh.” Pasal 16 ayat 2 PP No.36 Tahun 2021.
Bagaimana formula perhitungan upah per jam?
Mengacu pada Pasal 16 ayat 3 PP nomor 36 tahun 2021:
“Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh rendah dari hasil perhitungan formula upah per jam.”
Maka, dihitung dengan formula sebagai berikut:
Upah Per Jam = Upah Sebulan/126*
Meski ada aturan upah per jam, beleid baru dalam turunan UU Cipta Kerja ini tetap mengatur tentang upah minimum.**
- *Angka penyebut adalah 126, dalam formula perhitungan upah per jam mengikuti perubahan media jam kerja atau buruh paruh waktu.
- **Dalam Pasal 25 terdiri dari upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
Tak lagi menghitung komponen kebutuhan hidup layak.
Dalam PP Nomor 78 tahun 2015, penetapan upah minimum dilakukan setiap tahun berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Namun dalam peraturan yang baru, upah minimum ditentukan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Yang dimaksud dengan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan meliputi: paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah.
Selain itu, khusus untuk upah minimum kabupaten/kota, penetapan upah minimum mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi daerah yang bersangkutan.* (*Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2021 pasal 25).
Data sebagai dasar perhitungan bersumber dari lembaga statistik.
Nantinya data pertumbuhan, ekonomi, inflasi, paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah bersumber dari lembaga statistik berwenang* termasuk Badan Pusat Statistik (BPS). (*Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2021 pasal 25 ayat 5).
Penetapannya dilakukan oleh gubernur.
Upah minimum provinsi dan kabupaten ditetapkan dengan Keputusan Gubernur setiap tahunnya.
Namun, gubernur hanya dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota apabila:
- Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota selama tiga tahun terakhir dari data yang tersedia pada periode yang sama, lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi.
- Nilai pertumbuhan ekonomi dikurangi inflasi kabupaten/kota yang bersangkutan selama tiga tahun terakhir selalu positif dan lebih tinggi dari nilai provinsi. (*Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2021 pasal 27 dan 30)
Respons buruh
“Pemerintah telah melepaskan tanggung jawabnya untuk bagaimana rakyat mendapatkan upah yang layak, ini bertentangan dengan konstitusi dan UU ketenagakerjaan. Artinya benar UU Cipta Kerja itu bukan untuk rakyat tapi untuk memberikan karpet merah terhadap investasi. Dampaknya pasti akan semakin terjadi kesewenangan membayar upah terhadap buruh dan buruh semakin dimiskinkan dengan skema pengupahan seperti itu.” Nining Elitos, Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI). (narasi)