detakhukum.id – Rendahnya serapan anggaran kembali menjadi keprihatinan Presiden Joko Widodo. Dia menyesalkan masih terjadinya penumpukan anggaran pada akhir tahun.
Jokowi menekankan agar kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah (pemda) mengoptimalkan belanja pemerintah.
Dalam situasi krisis seperti sekarang ini Indonesia butuh kecepatan dalam realisasi belanja pemerintah. Pasalnya, jika kondisi ini dibiarkan dikhawatirkan akan berdampak buruk pada masyarakat.
Baru terealisasi kurang dari 50%
Total anggaran belanja barang dan jasa pemerintah pada 2020 sebesar Rp1.0271,1 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak Rp853,8 triliun merupakan anggar pengadaan. Namun hingga 9 November baru terealisasi kurang dari 50%.
“Rendahnya kinerja penyerapan belanja pengadaan barang dan jasa pemerintah berdampak terhadap pelayanan publik dan pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.” Roni Dwi Susanto, Kepala Lembaga Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), (Kompas. Rabu,18 November 2020).
Karena Apa?
Presiden Joko Widodo menyebut salah satu penyebab rendahnya realisasi ini karena banyak pejabat bekerja dengan cara-cara lama dan biasa-biasa saja.
Bukan kali ini saja
Pada APBN 2019, genjotan kinerja pemerintah pun baru mepet di akhir tahun. Realisasi belanja pemerintah pada November 2019 tercatat baru 79,13% dari pagu APBN tahun itu. Sebulan kemudian, realisasi itu baru berhasil mencapai angka 93,39%.
Banyak orang terdampak
Jika tetap dibiarkan, serapan anggaran yang rendah bisa berakibat buruk bagi masyarakat. UMKM menjadi salah satu kelompok terdampak. Realisasi anggaran belanja untuk UMKM baru terpakai 25,99% dari total anggaran Rp318,03 triliun.
Serapan anggaran PEN yang rendah juga akan berdampak pada tersendatnya perlindungan sosial yang membantu menjaga konsumsi nasional pemulihan ekonomi dari pandemi. Realisasinya per 11 November baru mencapai 55,5% dari pagu Rp695,2 triliun. (narasi/dh)